Setiap agama atau aliran kepercayaan memiliki
cara tersendiri untuk tirakat, sebagai contoh islam mengajarkan agar
menjalankan puasa, dan dzikir sebagai laku tirakat, hindu atau budha mengajarkan puasa, semedhi
dan sebagainya, kristen – katholik juga mengajarkan puasa yang tentunya sesuai aliran
kepercayaan dan keyakinan serta cara mereka.
Ini menunjukkan bahwa setiap agama
mengajarkan adanya laku tirakat, laku olah batin agar kita mendapat restu dari
Tuhan Semesta Alam sehingga apa yang kita cita citakan seperti mencari ilmu, jalan usaha, proses kehidupan di dunia dan lain lainnya
menjadi mudah untuk dicapai.
Saya mencoba menulis kembali apa yang
disampaikan oleh bliau Kakang Mas H. Tarmaji Budi Harsono, SE tentang TIRAKATNYA
ORANG SH TERATE.
Menurut mas Maji : Kunci keberhasilan hidup
itu sebenarnya hanya satu, yakni kalau kita dikasihi Allah SWT, hidup kita
pasti akan bahagia. Hanya saja manusia itu kurang bersyukur. Bahkan
kadang-kadang kita hanya ngersulo (mengeluh), larut dalam kekecewaan, dan kikir
dalam berterima kasih, tidak pernah puas dengan apa yang sudah didapat. Selalu
merasa kurang dan kurang.
Di SH Terate tidak ada ajaran mengeluh, tidak
ada ajaran ngersulo. Kita dididik untuk menjadi orang yang pantang menyerah.
Orang SH Terate itu kalau bisa sing gedhe tirakate, harus banyak tirakat dalam
hal apa saja. Ngak kemrungsung (tenang), tidak emosional, tidak gusar, tidak
adigang, adigung, adiguno (sombong). Hari-hari orang SH Terate itu dipenuhi
tirakat (rialat), dan selalu bersyukur menerima suratan Allah SWT.
Bagaimana cara orang SH Terate tirakat?
Tirakat orang SH Terate itu boleh dibilang
sepanjang masa, dalam kondisi apapun, dalam situasi bagaimanapun. Contohnya
bagi kita yang sudah berkeluarga, tentu punya isteri, punya anak. Mestinya saat
ini kita mendampingi mereka, tetapi mereka kita tinggal, karena kita harus
memenuhi kadang-kadang SH Terate untuk melatih atau memberi ke Sh-an. Kita
tinggalkan anak isteri sendiri, ini namanya tirakat dalam skala paling ringan.
Contoh lain, hari ini saya sudah berniat
hanya makan sekali. Biarpun saya dihadapkan makanan dari manapun saya tidak
beli, saya tidak akan makan. Ada lagi contoh tirakat yang lain, misalnya selama
satu minggu saya tidak akan makan kecuali jam 6 sore, maka saya baru makan
ketika jam 6 sore. Kemudian malamnya saya berniat tidur paling lama 4 jam,
besoknya lagi juga sudah tidak makan. Ini namanya jarang-jarangi atau
ngurang-ngurangi.
Terus niatnya bagaimana? Tidak perlu
macam-macam. Niat tirakat itu untuk menjaring kasih Allah SWT. Biar dikasihi
Allah, biar disayang Allah. Dengan begitu, kita akan merasa dekat dengan Allah,
sehingga hati ini merasa tenteram. Gelombang apapun kita hadapi dengan mesem, dan
nggak akan gentar. Tapi sayangnya orang sekarang ini sukanya instan. Seperti
mie instant. Pingin makan mie tinggal masukin ke gelas/mangkok kemudian
tuangkan air, sudah jadi mie langsung bisa dimakan, nggak perlu repot-repot.
Tidak mau tanam dulu tapi ingin langsung panen. Kalau toh mau nandur, mau
nanam, hanya sedikit, tapi ingin panen yang banyak. Lho kalau begini, kamus
darimana kita bisa panen? Ndak ada kamusnya orang nggak nandur kok bisa ngunduh.
Kehidupan ini tersusun dari jalanya proses yang saling kait mengkait. Sebelum
hujan, prosesnya diawali dengan mendung. Sebelum malam, prosesnya diawali dari
pagi dulu, kemudian siang, sore, baru malam. Proses ini harus dilalui. Jangan
seperti ingin makan mie instant. Kalau toh ingin makan mie instant, kita kan
harus bekerja dulu agar dapat uang, baru kemudian beli mie instant. Jadi tidak
serta merta mie instant tersaji di depan mata kita, begitu kita
menginginkannya.
Oleh karena itu kalau kita menginginkan
sesuatu, harus berani tirakat, berusaha keras melalui tahapan demi tahapan,
melalui proses. Jangan hanya diam, duduk berpangku tangan dan hanya berdo’a
saja. Laku yang demikian itu tidak pas, tidak cocok untuk wong SH Terate. Kita
tidak diajari seperti itu. Kemudian yang tidak boleh dilupakan adalah setiap proses
membutuhkan keseimbangan dan keharmonisan. Sesuatu yang tidak seimbang pasti
menimbulkan dampak yang kurang baik. Dengan demikian pada saat kita tirakat
keseimbangan proses ikhtiar lahiriah dan batiniah harus dijaga, tidak boleh
berat sebelah.
Didikan di SH Terate itu adalah mendidik
jiwa. Yang kita bangun itu jiwa, maka butuh waktu, butuh kesabaran, dan butuh
kesempatan. Tidak sehari dua hari jadi, tidak seperti membalik telapak tangan.
Kalau membangun fisik agar kuat itu bisa diformat dalam waktu sebulan atau dua
bulan. Contohnya melatih atlit, dapat diformat dalam tenggang waktu tertentu
dengan standarisasi tertentu. Tetapi membangun jiwa, memasukkan ajaran budi
luhur, butuh waktu panjang dan secara terus menerus. Nah, di SH Terate yang
kita bangun itu kedua-duanya, jiwa dan raga, lahiriah dan batiniah. Kita
diarahkan untuk menjadi manusia berbudi luhur tahu benar dan salah, beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam jalinan persaudaraan kekal abadi.
Bagaimana orang berbudi luhur itu? Definisi
yang paling mudah orang berbudi luhur itu adalah “orang yang tidak dakwen salah open”. Kita dididik untuk tidak
mencampuri urusan orang lain, kita tidak usil, dan selalu berpikiran positif (positif thingking). Sebagai contoh, jika
ada kadang kita (warga SH Terate) datang ke rumah, biarpun kita tahu dia sudah
berkeluarga, dia datang bersama seorang wanita, kita tidak perlu sebut, kita
tidak perlu tanya, siapa wanita ini, kecuali kadang kita sendiri
memperkenalkan. Ya paling banter ya kita tanya kepentingannya apa. Ini salah
satu didikkan kita, kita tidak boleh mencampuri urusan orang lain, kecuali
kadang kita itu minta kita membantu menyelesaikan masalahnya. Jika kadang kita
minta tolong, baru kita mohon maaf mengorek keterangan awal, sebagai acuan dasar
untuk mencari solusi atau jalan keluarnya.
Orang berbudi luhur itu adalah orang yang
tidak punya sifat iri dengki atas keberhasilan orang lain. Misalnya ada orang
lain bisa masuk PNS. Lantas kita menduga-duga, ah itu berhasil karena ngasih
duit (nyogok). Ndak boleh begitu. Yang harus kita lakukan adalah ikut senang
ketika melihat kadang kita berhasil. Senang jika ada kadang kita bisa beli
mobil, bisa naik haji, umroh, dan lain sebagainya.
Jadi kita tabu ngurusi dan mencampuri urusan
orang lain. Sebab semua itu akan membuat hati kita jadi resah sendiri. Hati
menjadi tidak tenang, tidak damai. Pancarkan sinar kasih yang ada di hati
nurani kita hanya prasangka baik, prasangka luhur, sehingga keluarnya pun
luhur. Omongan (bicara) yang enak didengar, gampang dimengerti. Ibarat ceret;
kalau air dalam ceret itu jernih, ceretnya pasti sering dibersihkan, dilap,
maka keluar air dari mulutnya ceret juga jernih. Tetapi sebaliknya, kalau
airnya keruh, pasti ceretnya tidak pernah dirawat, keluar airnya pun keruh. Omonganya
urakan, seenaknya sendiri. Sikapnya juga urakan, nggak ngerti umpan papan
(tidak paham situasi dan kondisi). Dupeh iso gelut (merasa bisa berkelahi)
tidak mau menghargai orang lain. Dan merasa dirinya paling super. Yang demikian
itu yang disebut tirakat batin. Karena batin kita juga butuh tirakat. Tirakat
yang paling sederhana adalah selalu berpikiran baik pada orang lain. Nggak
demen ngrasani, tidak suka mengumpat atau menggunjing. Jika yang demikian itu
kita lakukan, hati kita akan jadi bersih, resik, sehingga sinar Gusti Allah,
pasti akan turun menyertai kehidupan kita. Hasilnya adalah ketentraman,
kedamaian, keselamatan, kebahagian, dan kesejahteraan lahir batin akan kita
dapatkan. Insyyaallah. (Rimbo Bujang, 3 april
2016).
0 Komentar